Artikel

BAGAIMANAKAH PERJANJIAN YANG SAH MENURUT HUKUM?

Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana pihak yang satu saling mengikatkan diri dengan pihak lainnya untuk berjanji melaksanakan suatu hal tertentu. Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan 4 (empat) syarat sebagaimana ditentukan oleh Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu :

 

Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

Cakap untuk membuat suatu perjanjian

Mengenai suatu hal tertentu

Suatu sebab yang halal

 

Sepakat

Kata sepakat di dalam perjanjian pada dasarnya adalah pertemuan atau persesuaian kehendak antara para pihak. Seseorang dikatakan memberikan persetujuannya atau kesepakatannya jika ia memang menghendaki apa yang disepakati. Subjek yang membuat perjanjian harus saling setuju atau menghendaki hal yang sama secara timbal balik. Sepakat dapat juga diartikan sebagai penawaran (aanbod) yang diterima oleh lawan janjinya.

Berdasarkan Pasal 1321 KUH Perdata, kata sepakat dianggap tidak pernah ada jika terjadi cacat kehendak seperti adanya kekhilafan, paksaan, atau penipuan sebagaimana yang akan diuraikan dibawah ini :

Kekhilafan (dwaling)

Dalam hal ini salah satu pihak memiliki persepsi yang salah mengenai subjek dan/atau objek yang diperjanjikan. Ada 2 (dua) macam kekhilafan, yang pertama error in persona yaitu kekhilafan pada orangnya, misalnya sebuah perjanjian yang dibuat dengan artis terkenal tetapi kemudian perjanjian tersebut dibuat dengan artis yang tidak terkenal hanya karena ia mempunyai nama yang sama. Kedua, error in subtantia yaitu kekhilafan yang berkaitan dengan kerakteristik benda yang diperjanjikan, misalnya seseorang membeli sebuah tas merek ternama yang dikiranya original, namun ternyata hanya turunannya saja. Kekhilafan yang demikian itu dapat menjadi alasan bagi orang yang khilaf untuk membatalkan perjanjiannya. Adapun kekhilafan itu harus diketahui oleh pihak lawannya, atau setidaknya harus sedemikan rupa sehingga pihak lawan mengetahui bahwa ia sedang berhadapan dengan orang yang khilaf. Kalau pihak lawan itu tidak mengetahui bahwa ia sedang berhadapan dengan orang yang khilaf, maka tidaklah adil untuk membatalkan perjanjiannya. Dalam konteks ini pihak lawan selaku penjual tas telah mengetahui bahwa pembeli sedang berada dalam keadaan khilaf, namun ia tetap membiarkan si pembeli untuk membeli tas yang tidak original tersebut. Perbedaan antara kekhilafan dan penipuan adalah dimana pada penipuan si penipu bersifat aktif dengan suatu rangkaian kebohongan, sedangkan pada kekhilafan pihak lawan lebih bersifat pasif/membiarkan seseorang berada dalam keadaan khilaf.

Paksaan (dwang)

Yang dimaksud dengan paksaan disini adalah paksaan rohani atau paksaan jiwa (psikis), bukan paksaan badan (fisik). Misalnya salah satu pihak terpaksa menyetujui suatu perjanjian karena diancam atau ditakut-takuti. Jadi kalau seseorang dipegang tangannya dan tangan itu dipaksa untuk menulis atau tanda tangan pada suatu perjanjian, maka itu bukanlah paksaan yang dimaksudkan disini. Orang yang dipegang tangannya secara paksa itu tidak memberikan persetujuannya, sedangkan yang dimaksud paksaan disini adalah orang yang memberikan persetujuannya tetapi tidak secara bebas karena ia takut akan suatu ancaman, misalnya akan dianiaya atau akan dibuka suatu rahasia jika ia tidak menyetujui suatu perjanjian. Ancaman itu haruslah suatu perbuatan yang terlarang, jika ancaman akan digugat di pengadilan maka tidak dapat dikatakan adanya suatu paksaan. Suatu paksaan dimungkinkan dilakukan oleh pihak ketiga, lain halnya dengan penipuan yang hanya dapat dilakukan oleh pihak lawan.

Penipuan (bedrog)

Pasal 1328 KUH Perdata telah tegas menyatakan bahwa penipuan merupakan alasan pembatalan perjanjian. Penipuan terjadi apabila satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan-keterangan palsu atau tidak benar yang disertai dengan tipu muslihat untuk membujuk pihak lawannya agar memberikan persetujuannya. Untuk dapat dikatagorikan sebagai penipu pihak yang menipu itu haruslah bersifat aktif menjerumuskan pihak lawannya. Menurut yurisprudensi, tidak cukuplah kalau kebohongan itu hanya mengenai sesuatu hal saja, paling sedikit harus ada suatu rangkaian kebohongan atau suatu perbuatan yang dinamakan tipu muslihat, misalnya mobil yang ditawarkan diganti dulu mereknya, lalu dipalsukan nomor mesinnya termasuk juga nomor polisinya, kemudian catnya, surat-suratnya dan lain sebagainya.

Penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden)

Selain karena kekhilafan, paksaan, atau penipuan, perkembangan hukum kontrak dewasa ini juga memasukan penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden) sebagai salah satu alasan yang dapat digunakan untuk membatalkan suatu perjanjian. Penyalahgunaan keadaan adalah manakala seseorang di dalam membuat suatu kontrak dipengaruhi oleh suatu keadaan tertentu yang menghalanginya untuk melakukan penilaian bebas, sehingga ia tidak dapat mengambil keputusan secara independen. Penekanan tersebut terjadi karena salah satu pihak memiliki kedudukan khusus, misalnya kedudukan yang dominan, keunggulan ekonomi, ataupun keunggulan kejiwaan.

Penyalahgunaan keadaan ini dalam sistem common law dikenal dengan istilah undue influence dan unconscionability, yaitu adanya ketidakseimbangan posisi tawar antara para pihak. Apabila suatu kontrak terbentuk atas dasar hubungan para pihak yang tidak seimbang maka hal itu dinamakan undue influence (hubungan yang berat sebelah), namun bila ketidakseimbangan terjadi akibat suatu keadaan maka hal itu dinamakan unconscionability (keadaan yang berat sebelah). Adanya ketidakseimbangan hubungan atau keadaan ini mengakibatkan salah satu pihak dapat mendominasi dan memaksa pihak yang lemah untuk tidak mempunyai pilihan lain selain menandatangani kontrak, yang mana kontrak tersebut akhirnya merugikan pihak yang lemah. Pada dasarnya setiap orang haruslah bebas membuat perjanjian/kontrak tanpa hambatan sesuai dengan keinginannya, yaitu bebas menentukan mitra kontraknya, termasuk bebas dalam menentukan bentuk, isi maupun syarat-syarat kontraknya (asas kebebasan berkontrak).

 

Kecakapan

Syarat kedua untuk sahnya suatu perjanjian adalah kecakapan para pihak. Pada prinsipnya setiap orang sepanjang tidak ditentukan lain oleh undang-undang, dianggap cakap (mampu) melakukan tindakan hukum yang dalam konteks ini membuat perjanjian. Menurut ketentuan Pasal 1330 KUH Perdata ada beberapa orang yang dianggap tidak cakap untuk membuat perjanjian, yaitu pertama orang yang belum dewasa dan yang kedua adalah mereka yang ditaruh di bawah pengampuan. Pasal 330 KUH Perdata menentukan bahwa seseorang dikatakan belum dewasa jika belum mencapai umur 21 tahun dan sebelumnya belum kawin. Seiring dengan perkembangan hukum batas kedewasaan seseorang telah disepakati oleh Mahkamah Agung RI melalui Surat Edaran No. 7 Tahun 2012 Tentang Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno Mahkamah Agung yaitu seseorang dikatakan dewasa jika orang tersebut telah mencapai usia 18 tahun atau telah kawin.

Seseorang dikatakan berada atau ditaruh bawah pengampuan jika yang bersangkutan dungu, gila atau mata gelap, lemah akal atau juga pemboros (Pasal 433 dan 434 KUH Perdata). Orang yang demikian itu tidak mampu menggunakan akal sehatnya, dan oleh karenanya dapat merugikan dirinya sendiri sehingga perlu diangkat seseorang untuk mengurus dirinya pribadi serta barang atau harta bendanya. Seseorang yang dinyatakan pailit juga dapat dikatagorikan sebagai orang yang tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum (membuat perjanjian) sebagaimana Penjelasan Umum UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan PKPU.

 

Suatu Hal Tertentu

Sebagai syarat ketiga disebutkan bahwa suatu perjanjian harus mengenai suatu hal tertentu, yang artinya diperjanjikannya hak dan kewajiban dari masing-masing pihak. Barang yang dimaksud dalam perjanjian pun sedikitnya harus ditentukan jenisnya. Pasal 1332 dan 1333 KUH Perdata menentukan bahwa objek perjanjian haruslah barang yang dapat diperdagangkan atau dapat ditentukan jenisnya. Bahwa undang-undang tidak mengharuskan barang sudah berada ditangan pada waktu perjanjian dibuat, dapat juga berupa barang yang baru akan ada (Pasal 1334 ayat (1) KUH Perdata). Maksudnya adalah ketika perjanjian dibuat bisa saja barang belum ada karena masih akan dibuat atau sedang dalam proses pembuatan, sehingga bukan berati bahwa barang yang dimaksud tersebut tidak ada.

Perjanjian yang objeknya tidak jelas karena tidak dapat diperdagangkan, atau tidak dapat ditentukan jenisnya, atau juga tidak dapat dinilai dengan uang, atau yang tidak mungkin dapat dilaksanakan, adalah batal demi hukum. Perjanjian yang demikan itu adalah perjanjian yang tidak sah karena mustahil untuk dilaksanakan.

 

Suatu sebab yang halal

Syarat terakhir yang ditentukan oleh Pasal 1320 KUH Perdata yaitu mengharuskan adanya suatu sebab yang halal. Bahwa maksud sebab yang halal disini bukanlah sesuatu yang menyebabkan seseorang membuat perjanjian. Hukum pada asasnya tidak menghiraukan apa yang ada dalam gagasan seseorang, yang diperhatikan oleh hukum adalah tindakan dari seseorang tersebut. Jadi yang dimaksud dengan sebab atau causa yang halal disini adalah isi dari perjanjian itu sendiri tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum yang berlaku. Dengan demikian, kalau seseorang membeli sebuah pisau di toko dengan keinginan untuk membunuh orang dengan pisau tadi, maka perjanjian jual beli pisau itu tidak otomatis batal demi hukum. Lain halnya jika soal membunuh itu tadi dimasukan ke dalam perjanjian, misalnya si penjual hanya bersedia menjual pisaunya kalau si pembeli menggunakannya untuk membunuh orang, maka isi dari perjanjian itu adalah sesuatu terlarang sehingga tidak memenuhi syarat suatu sebab yang halal dan menjadikannya perjanjian tersebut batal demi hukum.

 

Lalu, bagaimana jika salah satu syarat tersebut di atas tidak terpenuhi?

Jika salah satu syarat saja tidak terpenuhi maka perjanjian menjadi tidak sah. Dalam hal syarat subjektif (sepakat dan cakap) tidak terpenuhi maka perjanjian dapat dimintakan pembatalan (canceling) oleh salah satu pihak, sedangkan apabila syarat objektif (suatu hal tertentu dan sebab yang halal) tidak terpenuhi maka perjanjian itu batal demi hukum, yang artinya sejak semula tidak pernah dilahirkannya suatu perjanjian.

Tentang tidak terpenuhinya syarat subjektif (sepakat dan cakap), undang-undang menyerahkan sepenuhnya kepada pihak yang berkepentingan apakah ia menghendaki pembatalan perjanjian atau tidak, karena hal itu menyangkut dengan kepentingan seseorang yang mungkin saja tidak menginginkan perlindungan hukum terhadap dirinya. Misalnya seseorang yang dipandang oleh undang-undang tidak cakap, mungkin saja ia sanggup memikul tanggung jawab terhadap perjanjian yang dibuatnya. Begitupun misalnya ada seseorang yang telah membuat perjanjian karena khilaf ataupun tertipu, bisa saja ia enggan meminta perlindungan hukum karena ia merasa malu. Selain itu kekurangan syarat subjektif tidak bisa diketahui begitu saja oleh hakim, sehingga harus diajukan atau dimintakan pembatalannya oleh pihak yang berkepentingan, yaitu pihak yang merasa tidak memberikan kesepakatannya atau pihak yang tidak cakap menurut hukum (bisa oleh orang tuanya, wali, atau diri sendiri jika sudah menjadi cakap).

Meminta pembatalan perjanjian oleh Pasal 1454 KUH Perdata dibatasi waktu sampai 5 tahun. Dalam hal kecakapan waktu mulai berlaku sejak orang tersebut menjadi cakap menurut hukum, dalam hal adanya paksaan sejak hari paksaan itu telah berhenti, dan dalam hal kekhilafan atau penipuan sejak hari diketahuinya kekhilafan atau penipuan itu. Pembatasan waktu tersebut tidak berlaku terhadap pembatalan yang diajukan selaku pembelaan atau tangkisan, misalnya ketika berkedudukan sebagai tergugat mengemukakan adanya ketidakbebasan atau ketidakcakapan pada saat perjanjian dibuat, lalu atas dasar itu kemudian meminta kepada hakim agar supaya perjanjian dibatalkan. Permintaan pembatalan perjanjian secara pembelaan inilah yang tidak dibatasi waktunya.

Berbeda halnya jika syarat objektif tidak terpenuhi maka perjanjian itu akan otomatis batal demi hukum, karena menurut hukum sejak semula perjanjian dianggap tidak pernah lahir. Perjanjian yang tidak mengandung suatu hal tertentu akan mengakibatkan perjanjian tidak dapat dilaksanakan karena tidak terang apa yang diperjanjikan oleh masing-masing pihak. Begitupun tentang perjanjian yang isinya tidak halal, teranglah bahwa perjanjian tersebut tidak boleh dilaksanakan karena melanggar hukum atau kesusilaan. Dari sudut ketertiban dan keamanan jelaslah bahwa perjanjian-perjanjian seperti itu harus dicegah.

 

Demikian sekilas tentang syarat sahnya perjanjian menurut hukum, semoga tulisan ini bermanfaat.

Apabila ada hal lain yang ingin ditanyakan seputar hukum perjanjian, jangan ragu untuk hubungi kami.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *